Selasa, 15 April 2014

PANDANGAN ETIKA PANCASILA TERHADAP MONEY POLITIK DALAM PEMILU


Money politik sudah bukan lagi menjadi hal yang tabuh bagi masyarakat Indonesia. Bahkan telah menjadi adat dan budaya dalam setiap diadakannya pemilu baik dari pemilihan capres sampai kepala desa. Bahkan masyarakat Indonesia dengan senang hati menerima Money politik yang diberikan dengan syarat untuk memilih mereka yg memberikan uang. Akhirnya bukanlah yang pantas untuk memimpin yang terpilih, melainkan mereka yang berkuasa dengan uang dan sebenarnya tidak masih diragukan kepemimpinannya.
Berbicara mengenai pemimpin yang hanya mengandalkan uang dan kekuasaan sebagai dasar kepemimpinannya Maka semua itu tentulah bersimpangan dengan etika bangsa yang berlandasan pada pancasila yang termaktub pada sila ke-3  berbunyi “ kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Jika seorang pemimpin yag berlatar belakang demikian tentulah pemikirannya hanya kecurangan dalam  menjalankan kepemimpinan. Musyawarah yang telah dilaksanakan hanya akan menjadi sebuah sandiwara panggung politik bagi pemimpin-pemimpin yang hanya berdasarkan pada kekuasaan dan jabatan semata. Dengan demikian Negara bukan semakin baik akan tetapi semakin hancur akibat terpilihnya pemimpin yang tidak berkualitas.
Jika demikian yang terjadi lentas  siapakah  yang akan bertanggung jawab?
Tentu mereka yang memilih dan dipilih. Kerena yang memilih hanya memilih berdasarak keuntungan sementara, dan pemimpin juga menggunakan cara curang yang melanggar Pasal 73 ayat 3 undang-undang No. 3 tahun 1999 yang didalamnya berbunyi “Barang siapa pada waktu diselenggarakannya pemilihan umum menurut undang-undang ini dengan pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu, dipidana dengan pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun. Pidana itu dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji berbuat sesuatu.”  Maka keduanya bukan hanya melanggar undang-undang Negara, melainkan jug melanggar aturan hokum islam sebagaimana yang tercantum pada hadist berikut:
 Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّاشِىَ وَالْمُرْتَشِىَ.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima suap”. (HR. Abu Daud no. 3580, Tirmidzi no. 1337, Ibnu Majah no. 2313. Kata Syaikh Al Albani hadits ini shahih). Dalam riwayat yang lain Nabi melaknat al Ra-isy (الرَّائِشَ) yaitu penghubung antara penyuap dan yang disuap (HR. Ahmad 5/279). Meski hadits ini lemah namun maknanya benar. Orang yang menjadi penghubung antara penyuap dan yang disuap berarti membantu orang untuk berbuat dosa dan ini adalah suatu yang terlarang. Hadits di atas menunjukkan bahwa suap termasuk dosa besar, karena ancamannya adalah laknat. Yaitu terjauhkan dari rahmat Allah. Bahkan sogok itu haram berdasarkan ijma’ (kesepakatan ulama).[1]
Fakta diatas menyatakan bahwa tidak ada kejujuran dalam setiap adanya pemilu. Ketidak jujuran tersebut dikarenakan banyaknya partai-partai baru yang berkonsep pada kemenagan dan tahta. Bukan berdasarkan kualitas pembentukan seorang pemimpin,melainkan jabatan, kedudukan dan isi perut masing-masing yang kemudian mengorbankan nasib dan masa depan bangsa Indonesia.
Jika itu terus menerus terjadi, rusaklah masa depan bangsa kita. Maka semua konsep pemilu haruslah diubah dengan memperketat penyeleksian partai agar tidak menjamur dan bermunculan partai-partai baru lainnya, sehingga akan semakin memperkecil tingkat kecurangan partai dalam PEMILU. Karena semakin sedikit partai, persaingan akan semakin tersorot oleh masyarakat yang akan memberikan pandangan baru tentang calon pemimpin bangasa ini.

By: Mazidatur Rizqiyah


[1] http://rumaysho.com/jalan-kebenaran/money-politik-dan-pemilu-257

Tidak ada komentar:

Posting Komentar