Money
politik sudah bukan lagi menjadi hal yang tabuh bagi masyarakat Indonesia. Bahkan
telah menjadi adat dan budaya dalam setiap diadakannya pemilu baik dari
pemilihan capres sampai kepala desa. Bahkan masyarakat Indonesia dengan senang
hati menerima Money politik yang diberikan dengan syarat untuk memilih mereka
yg memberikan uang. Akhirnya bukanlah yang pantas untuk memimpin yang terpilih,
melainkan mereka yang berkuasa dengan uang dan sebenarnya tidak masih diragukan
kepemimpinannya.
Berbicara
mengenai pemimpin yang hanya mengandalkan uang dan kekuasaan sebagai dasar
kepemimpinannya Maka semua itu tentulah bersimpangan dengan etika bangsa yang
berlandasan pada pancasila yang termaktub pada sila ke-3 berbunyi “ kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Jika seorang pemimpin
yag berlatar belakang demikian tentulah pemikirannya hanya kecurangan dalam menjalankan kepemimpinan. Musyawarah yang
telah dilaksanakan hanya akan menjadi sebuah sandiwara panggung politik bagi
pemimpin-pemimpin yang hanya berdasarkan pada kekuasaan dan jabatan semata. Dengan
demikian Negara bukan semakin baik akan tetapi semakin hancur akibat
terpilihnya pemimpin yang tidak berkualitas.
Jika demikian
yang terjadi lentas siapakah yang akan bertanggung jawab?
Tentu mereka yang memilih dan dipilih. Kerena yang memilih hanya memilih
berdasarak keuntungan sementara, dan pemimpin juga menggunakan cara curang yang
melanggar Pasal 73 ayat 3 undang-undang No. 3 tahun 1999 yang didalamnya
berbunyi “Barang siapa pada waktu diselenggarakannya pemilihan umum menurut undang-undang
ini dengan pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak
menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan
cara tertentu, dipidana dengan pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun.
Pidana itu dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian
atau janji berbuat sesuatu.” Maka keduanya
bukan hanya melanggar undang-undang Negara, melainkan jug melanggar aturan hokum
islam sebagaimana yang tercantum pada hadist berikut:
Dari Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhuma, ia berkata,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّاشِىَ
وَالْمُرْتَشِىَ.
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melaknat
orang yang memberi suap dan yang menerima suap”. (HR. Abu Daud no. 3580,
Tirmidzi no. 1337, Ibnu Majah no. 2313. Kata Syaikh Al Albani hadits ini
shahih). Dalam riwayat yang lain Nabi melaknat al Ra-isy (الرَّائِشَ)
yaitu penghubung antara penyuap dan yang disuap (HR. Ahmad 5/279). Meski
hadits ini lemah namun maknanya benar. Orang yang menjadi penghubung antara
penyuap dan yang disuap berarti membantu orang untuk berbuat dosa dan ini
adalah suatu yang terlarang. Hadits di atas menunjukkan bahwa suap termasuk
dosa besar, karena ancamannya adalah laknat. Yaitu terjauhkan dari rahmat
Allah. Bahkan sogok itu haram berdasarkan ijma’ (kesepakatan ulama).[1]
Fakta diatas menyatakan
bahwa tidak ada kejujuran dalam setiap adanya pemilu. Ketidak jujuran tersebut
dikarenakan banyaknya partai-partai baru yang berkonsep pada kemenagan dan
tahta. Bukan berdasarkan kualitas pembentukan seorang pemimpin,melainkan
jabatan, kedudukan dan isi perut masing-masing yang kemudian mengorbankan nasib
dan masa depan bangsa Indonesia.
Jika itu terus menerus
terjadi, rusaklah masa depan bangsa kita. Maka semua konsep pemilu haruslah
diubah dengan memperketat penyeleksian partai agar tidak menjamur dan bermunculan
partai-partai baru lainnya, sehingga akan semakin memperkecil tingkat
kecurangan partai dalam PEMILU. Karena semakin sedikit partai, persaingan akan
semakin tersorot oleh masyarakat yang akan memberikan pandangan baru tentang
calon pemimpin bangasa ini.
By: Mazidatur Rizqiyah